1. Wujud Stratifikasi
Sosial
Wujud sederhana dari pelapisan sosial pada hampir
semua masyarakat adalah strata yang antara majikan dan buruh, bangsawan dan
penguasa dengan rakyat jelata, ilmuwan dengan kaum awam. Ada
beberapa wujud dari sistem stratifikasi sosial yang terdapat didalam
masyarakat, baik sekarang maupun dahulu.
1. Sistem kasta
2. Sistem kelas sosial
3. Sistem feodal
4. Sistem apartheid
2. Kriteria Stratifikasi Sosial
Kriteria pelapisan sosial ialah sistem pengelompokan
masyarakat menurut status yang umumnya berupa nilai status sosial dalam
masyarakat yang diukur dari prestis(gengsi). Contoh: orang lebih memilih
bekerja dikantor dari pada menjadi pedagang . Pada masyarakat Bali, status
masing-masing orang ditentukan berdasarkan kasta sehingga tidak memungkinkan
untuk berpindah status.
3. Wujud dari Stratifikasi
Sosial
Beberapa
wujud dari stratifikasi sosial dalam masyarakat, baik sekarang maupun dahulu
adalah sebagai berikut:
1. Sistem kasta
Sistem
kasta telah ada sejak berabad-abad lalu, khususnya pada masyarakat india.
Menurut Lumberg (1986), kasta adalah suatu kategori yang pada anggotanya
ditunjuk dan ditetapkan status yang permanen dalam hierarki sosial, serta
hubungan-hubunganya dibatasi dengan statusnya.
Dalam
kenyataanya sistem kasta mempunyai cirri-ciri yaitu:
a.
Keanggotaan yang diperoleh karena
warisan atau kelahiran
b. Keunggulan yang diwariskan berlaku
seumur hidup
c.
Prestise suatu kasta benar-benar
dijaga dan diperhatikan
2. Sistem kelas sosial
Sistem kelas sosial didasarkan pada status sosial yang
diperoleh dengan usaha-usaha (achieved status), namun dapat pula diperoleh
melalui kelahiran. Menurut Karl Marx, kelas sosial adalah kelas yang mempunyai
hubungan sebab akibat dengan alat-alat produksi. Dari uraian diatas dapat
disederhanakan bahwa kelas sosial adalah sejumlah orang atau keluarga –keluarga
yang memiliki status sosial yang sama dan biasanya didapat dengan usaha-usaha
maupun kelahiran.
3. Sistem Feodal
Feodalisme merupakan suatu bentuk organisasi yang telah
muncul di dunia ketika masyarakat mengalami revolusi agraris. Walaupun
memiliki bentuk yang berbeda-beda di berbagai daerah, tetapi karakteristik
sistem feodal selalu ditandai oleh suatu prinsip dasar, yaitu pembeda status
seseorang terhadap orang lain, terutama dalam hubunganya dengan sistem
pertanahan. Hubungan dasar dari feodalisme diperkuat oleh adanya upeti.
4. Sistem Apartheid
Kata apartheid berarti “pemisah” dalam bahasa Afrika, yang
menggambarkan pemisah rasial yang nyata antara penduduk kulit yang merupakan
kaum minoritas yang memimpin penduduk nonkulit putih yang merupakan mayoritas.
Sistem apartheid mengklasifikasikan orang berdasarkan tiga kelompok ras besar,
yaitu kulit putih ( yang merupakan golongan minoritas), bantu ( kulit hitam
mayoritas), dan kulit berwarna (orang-orang berdarah campuran).
4. Kriteria dari Stratifikasi
Sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai
dasar pembentukan pelapiasan sosial adalah sebagai berikut:
a.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran
penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang
siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas
dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat
dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
b. Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling
besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran
kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai
orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat
mendatangkan kekayaan.
c. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan
atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat
terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati
orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun
orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
d. Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan
sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu
pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati
lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.
Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik
(kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter,
insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun
sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang
disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya,
sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk
memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah
palsu dan seterusnya.
5. Konsekuensi Stratifikasi Sosial
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan
kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup atau
tindakan, tetapi –seperti ditulis Horton dan Hunt (1987)– juga menimbulkan
sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti peluang
hiduo dan kesehatan, peluang bekerja danberusaha, respons terhadap perubahan,
pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Gaya
hidup.
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial
satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada
kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup ekslusif
untuk membedakan dirinya dengan kelas sosial yang lain. Berbeda dengan kelas
sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas,
selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik
anak, dan hal-hal lainya, gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan
atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Dickson, 1968). Mulai dari tutur
kata, cara berpakaian, pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur,
dan sebagainya, antar kelas yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama.
Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya
akan cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal
setiap liburan semester anak-anaknya, mereka akan menyembatkan waktu pergi ke
Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk keluarga kelas
menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar negeri, tetapi cukup di
Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk keluarga kelas bawah,
biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota terdekat yang udaranya lebih sejuk
atau sekedar berjalan-jelan di pusat-pusat perbelanjaaan untuk
menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang benar-benar miskin, mereka
bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah,
atau sesekali ke kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan sebagainya.
Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu
dengan lainnya adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya
massal dan dianggap berselera rendahan –pakaian kodian, misalnya– biasanya
selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan atau berada. Bagi
mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status yang mencerminkan dan
membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang lebih rendah.
Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian
dari kelas menengah atau atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila
disebut sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis
masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai hiburan kacangan
yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa menyebabkan orang-orang
dari kelas menengah atau atas seoalah merasa turun derajatnya bila
dikategorikan sebagai salah satu penggemar kedua hiburan ini.
Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film
yang banyak ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film
barat baru yang dibintangi oleh bintang-bintang Hollywood terkenal, macam Tom
Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone, Mat Dammon, J-Lo, Demi Moore,
dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar adalah musik-musik jazz
atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di acara-acara televisi swasta,
seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi
pujaan kelas menengah, misalnya adalah Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo,
Michael Bolton, Michael Jackson, Mariah Carrey, atau Whitney Houston.
Sebagai orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka
mencoba meniru-niru atribut yang dikenakan sebagai gaya hidup kelas di atasnya.
Dalam pemilihan pakaian, sepatu, atau jam tangan, misalnya, banyak orang-orang
dari kelas rendah mencoba menirunya dengan cara membeli barang-barang tiruan
yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah satu ciri dari kelas sosial
bawah adalah mereka acapkali mengapresiasi dan sejauh mungkin ingin tampil
seperti kelas sosial di atasnya. Jika orang-orang dari kelas atas memakai kaos
merek Hammer atau sepatu merek Nike, maka orang-orang dari kelas bawah akan
memakai dengan merek yang sama tetapi tiruan. Demikian ketika orang-orang dari
kelas atas memakai tas merk Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka
sebagian orang-orang dari kelas bawah akan menirunya dengan membeli tas
“tembakan” buatan Korea atau China. Bagi orang-0rang yang belum berpengalaman
dan dipandang sepintas kilas mereknya akan terlihat sama. Selera kalangan bawah
yang umumnya lebih menyukai pakaian denngan warna-warna mencolok dalam banyak
hal juga semakin mengukuhkan adanya perbedaan penampilan mereka dengan kelas di
atasnya.
Peluang
Hidup dan Kesehatan.
Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan
kependudukan telah banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan
peluang hidup dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan oleh Robert
Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga miskin, tidak
berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang
penyakit. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Brooks (1975) menemukan
bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi ternyata dipengaruhi oleh
tinggi-rendahnya kelas sosial orangtua. Semakin tinggi kelas sosial orangtua,
semakin kecil kemungkinan terjadinya kematian bayi. Di kalangan kaum ibu yang
kurang berpendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena
tinggi-rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya pemeriksaan
kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak
dan keluarganya (Utomo, 1985).
Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan
Harkey (1976), sekurang-kurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk
menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehata. Pertama: para
anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati sanisitas, tindakan-tindakan
pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua: orang-orang yang
mengidap penyakit kronis, status sosialnya cenderung untuk “meluncur” ke bawah
dan sulit mengalami mobilitas sosial vertikal naik karena penyakitnya
menghalangi mereka untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai pekerjaan.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga
miskin suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan
andalan ekonomi keluarga tiba-tiba jatuh sakit hinga berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas yang biasanya
memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan, keluarga-keluarga
miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka sakit, maka akibat yang
segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap utang, dan
pelan-pelan satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk
menyambung hidup (Suyanto, 2003). Dengan alasan tidak lagi ada uang yang
tersisa, sering terjadi keluarga miskin yang salah satu anggota
keluarganya sakit akan memilih mengobati seadanya dengan cara tradisional, yang
ironisnya kadang justru membuat penyakit yang mereka derita menjadi tidak
kunjung sembuh.
Singkatnya seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa semakin
tinggi posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial peluang hidupnya
akan semakin baik.
Respon
terhadap perubahan.
Berbeda dengan orang-orang yang datang dari kelas sosial
atas, orang-orang dari kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling
terlambat menerapkan kecenderungan-kecenderungan baru, khususnya dalam hal cara
mengambil keputusan. Memang, setiap kali terjadi perubahan, tentu membutuhkan
proses adaptasi, dan bahkan respons yang tepat dari warga masyarakat.
Orang-orang dari kelas sisial bawah umumnya ragu-ragu untuk menerima pemikiran
dan cara-cara baru serta curiga terhadap para pembaharu (pencipta hal-hal
baru). Studi yang dilakukan oleh IB Wirawan (1972) mengenai perilaku ber-KB
masyarakat desa menunjukkan bahwa KB mandiri lebih banyak dilakukan oleh
orang-orang dari kelas sosial atas daripada bawah. Ragu dan curiga terhadap hal
baru barangkali merupakan ciri yang relatif tetap pada kelas bawah, misalnya
juga terhadap pembaruan cara bertani, penggunaan pupuk tablet menggantikan pupuk
tabur di desa kami juga menunjukkan hal itu. Semula para petani menolah
penggunaan pupuk tablet, tetapi karena penjualan pupuk tabur dibatasi, akhirnya
terpaksa menerima. Dan ketika menghadapi kenyataan bahwa pupuk tablet lebih
hemat, mereka baru mau menerimanya.
Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan
mengakibatkan kebanyakan orang-orang dari kelas sosial bawah itu tidak mampu
mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai program perubahan
yang ditawarkan (Horton dan Hunt, 1987).
Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan
relatif memadai– cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga
acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas
program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya.
James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa
miskin di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih
dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat). Petani-petani
kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera merespon perubahan atau
tawaran program baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih penting
daripada melakukan langkah-langkah terobosan yang menurut mereka belum tentu
jelas hasilnya.
Peluang
bekerja dan berusaha.
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah
dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan,
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan uang yang dimiliki, kelas sosial atas
relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan
minatnya. Seseorang yang sejak kecil telah disertakan dalam kursus Bahasa
Iggris oleh orangtuanya yang kaya, tentu kemungkinan mereka bersekolah di luar
negeri lebih terbuka. Dengan menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas
kesempatan mereka untuk bekerja di perusahaan besar lebih besar.
Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau
perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya rentan,
tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang
memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi okupasi.
Keluarga-keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali
tidak bisa ikut meramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, dan sulit
meningkatkan kualitas hidupnya. Walaupun orang-orang dari kelas bawah telah
sering memperoleh bantuan permodalan dari KUD, KUT, BRI UNIT DESA, Pegadaian,
BLT, dst. tetapi acapkali bantuan-bantuan ekonomi itu tidak dapat menyelsaikan
masalah kemiskinan secara tuntas.
Kebahagiaan
dan sosialisasi keluarga
Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya
umumnya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih
berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada.
Fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam keluarga cenderung
lebih sering terjadi dan dialami oleh keluarga-keluarga yang secara
sosial-ekonomi tergolong miskin.
Keluarga-keluara dari kalangan bawah cenderung mengalami
kegagalan dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasar keluarga, khususnya fungsi
afeksi dan sosialisasi, karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan
oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico)
dihasilkan informasi bahwa figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya
kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan tidak
mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum pergi, terjepit oleh pekerjaan yang
rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan keturunan dari seorang ayah
yang kejam pula.
Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan”
adalah kebenaran yang tidak mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam
suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar
kemungkinan ketika ia menjadi dewasa dan berkeluarga, akan menjadi seorang
suami atau ayah yang ringan tangan terhadap isteri atau anak-anaknya. Ia akan
enggan memberikan kasih sayang dan perasaan cintanya terhadap anggota-anggota
keluarganya.
Perilaku
politik
Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi
perilaku politik orang. Studi yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen (1975),
dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial semakin cenderung
aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan diri sebagai pemilih,
memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada pembahasan politik, dan berusaha
mempengaruhi pandangan politik orang lain.
Di lingkungan orang-orang yang berpendidikan di kalangan
kelas menengah, ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada
orang-orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan semakin
tumbuhnya sikap kritis mereka. Akses mereka terhadap informasi merupakan salah
satu faktor penyebabnya. Kelas menengah bahkan diharapkan berperan
sebagai motor penggerak perubahan, kendati justru tidak jarang dijumpai
orang-orang dari kalangan kelas menengah yang justru menjadi pendukung status
quo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar